26 Februari 2015. Dua hari
menjelang berakhirnya orientasi di RS. Hari itu sesuai jadwal aku orientasi di
ruang rawat inap Garuda, bangsal anak. Agak kesiangan memulai hari, aku agak
tergesa berangkat ke rumah sakit dan nggak sempat sarapan. Katanya sih visit
bangsal ini selalu jam tujuh pagi. Sebagai anak baru di RS ini aku merasa
berkewajiban untuk berkenalan dengan semua spesialis di RS ini. Dan salah satu
cara yang mudah adalah dengan mengikuti jadwal visit beliau-beliau.
Sampai di bangsal Garuda jam
7.05. Spesialisnya belom dateng. Masih ada waktu buat lihat-lihat status ada
kasus apa aja disini. Sambil kenalan sama perawat-perawat yang ada disana.
Sejam kemudian spesialis anaknya dateng buat visit. Hari ini jadwal visit dr.
Ria Infandrarie SpA. Hehe nggak papa ya dok namanya masuk blog saya :’)
Pas beliau dateng langsung kan
aku memperkenalkan diri dan ikut beliau visit. Sambil visit juga diselingi
ngobrol sama keluarga pasien dan sedikit nanya-nanya tentang penanganan beberapa
kasus anak di IGD. Setelah semua pasien selesei visit biasanya dokter spesialis
akan duduk buat ngelengkapin status pasien satu per satu. Dan disinilah alasan
kenapa aku nulis cerita ini.
Saat itu aku duduk
berhadap-hadapan dengan beliau. Sembari menemani beliau melengkapi status kita
ngobrol ini itu dari mulai pilihan terapi cairan sampai bahas sinetron
ganteng-ganteng serigala yang beliau nilai efeknya mulai nggak sehat ke
anak-anak. Aku mulai memperhatikan beliau lebih detil. Dari penutup kepalanya, kerut
halus di wajahnya, gerak gerik tubuhnya, sampai cara beliau berbicara. Lalu tiba-tiba
ada hening menyergap. Sesaat aku sadar,
beliau mirip alm. ibu. Lalu aku teringat cerita ica kalo beliau sedang dalam
proses pengobatan kanker payudara. Rasanya tenggorokan lengket dan mata mulai
berkaca-kaca. Mungkin kalo alm. ibu skg masih hidup mungkin akan seumur dr. Ria
ini. Aku nggak punya banyak kenangan soal ibu. Tapi yang sedikit itu udah cukup
bikin pikiranku melayang entah kemana. Aku mulai nggak konsen menanggapi
obrolan beliau. Dan tanpa sadar suaraku mulai serak. Aku sibuk menyeka air mata
di sudut mataku. Semoga dr. Ria tidak menyadari hal ini. Dan 30 menit bersama
dr. Ria pagi itu menjadi 30 menit terlama yang sangat menyiksa. Tahun ini tepat
20 tahun ibu pergi. Aku hampir lupa
bagaimana wajah ibuku sendiri. Dan aku lupa bagaimana rasanya dipeluk alm. ibu.
Dan sepanjang sisa hari itu aku merasa pilu.